DEfinisi diyat

Secara etimologi, diyat berasal dari bahasa arab yang berarti "denda". maksud diyat dalam terminologi fiqih jinayah adalah denda yang diwajibkan kepada pelaku pembunuhan yang tidak dikenakan hukuman qishash dengan membayarkan sejumlah harta (baik uang maupun barang) sebagai pengganti hukuman qishash, akibat adanya permaafan oleh anggota keluarga korban.

Macam-macam diyat

Dari sisi berat ringannya, diyat dapat digolongkan menjadi 2 macam, Pertama : Diyat mughalladzah (denda yg berat) yg wajib membayar 30 ekor hiqqah, dan 30 ekor jadza'ah. Yg wajib dibayar oleh pembunuhan dengan sengaja tapi di maafkan oleh keluarga korban. Kedua : diyat mukhaffafah (denda yg ringan) yaitumembayar 100 unta yg terdiri dari 20 ekor hiqqah, 20 ekor jadzaah, 20 ekor bintu labun, 20 ekor ibnu labun, 20 ekor bintu ma'khad. Yg wajib dibayar oleh orang yg melakukan pembunuhan dengan tdk sengaja.

3Hikmah disyariatkannya diyat

Dalam Penetapan syariat diyat mengandung manfaat dan hikmah bagi kelangsungan hidup manusia diantara hikmah disyariatkannya diyat adalah : Sebagai upaya prefentif menanggulangi perilaku kriminalitas di masyarakat, membuat efek jera bagi pelaku kejahatan, melatih sifat sabar dan pemaaf (khususnya bagi korban dan keluarganya), mengurangi rasa permusuhan dan dendam serta mempererat persaudaraan, mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis dan menjamin terciptanya stabilitas sosial.

Hadits tentang qishash

Nabi Muhammad saw bersabda dalam hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Hiban : artinya "Setiap dosa ada harapanAlloh akan mengampuninya,kecuali seorang lelaki yang mati dalamkeadaan syirik atau seorang membunuh seorang mu'min dengan sengaja.

Syarat pelaksanaan qishash

Hukum qishash wajib dilaksanakan apabila memenuhi syarat qishash sbb : pembunuhnya sudah balig dan berakal sehat, pembunuhnya bukan orang tua dari orang yang dibunuh, pembunuhannya dilakukan dengan sengaja, orang yang dibunuh bukan orang jahat (terpelihara darahnya), orang yang dibunuh sama derajatnya, pemberlakuannya harus sepadan misalkan jiwa dengan jiwa, atau mata dengan mata pula.

Beberapa Kesalahan Mabit Muzdalifah

Beberapa Kesalahan Mabit Muzdalifah

Sebagian jamaah haji, di saat pertama kali tiba di Muzdalifah, sibuk memungut batu kerikil sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dan mereka berkeyakinan bahwa batu-batu kerikil untuk melempar jumrah itu harus diambil dari Muzdalifah.
Yang benar adalah, dibolehkannya mengambil batu-batu itu dari seluruh tempat di Tanah Haram. Sebab keterangan yang benar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau tak pernah menyuruh agar dipungutkan untuk beliau batu-batu pelempar jumrah Aqabah itu dari Muzdalifah.
Hanya saja beliau pernah dipungutkan untuknya batu-batu itu diwaktu pagi ketika meninggalkan Muzdalifah setelah masuk Mina. Selebihnya, batu-batu itu beliau pungut dari Mina.
Ada pula sebagian mereka yang mencuci batu-batu dengan air, padahal ini pun tidak disyariatkan.
Sudah kita ketahui bersama bahwa Ibadah Haji adalah ibadah yang amat mulia. Ibadah tersebut adalah bagian dari rukun Islam bagi orang yang mampu menunaikannya. Keutamaan haji banyak disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Berikut beberapa di antaranya:

Pertama: Ibadah Haji merupakan amalan yang paling afdhol.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Kedua: Jika ibadah haji tidak bercampur dengan dosa (syirik dan maksiat), maka balasannya adalah surga
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim, 9/119)

Ketiga: Haji termasuk jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

Keempat: Haji akan menghapuskan kesalahaan dan dosa-dosa
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Kelima: Haji akan menghilangkan kefakiran dan dosa.  
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِى الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Ikutkanlah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak. Sementara tidak ada pahala bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR. An Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1/387. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih)

Keenam: Orang yang berhaji adalah tamu Allah
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ
Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Begitu luar biasa pahala dari berhaji. Semoga kita pun termasuk orang-orang yang dimudahkan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di rumah-Nya. Semoga kita dapat mempersiapkan ibadah tersebut dengan kematangan, fisik yang kuat, dan rizki yang halal.
Semoga Allah mengaruniakan kita haji yang mabrur yang tidak ada balasan selain surga.

Dikarenakan hal tertsebut Pihak Kami mengadakan Dana Haji Murah Mulai Rp.10 Juta Rupiah 


Kesalahan Melempar Jumrah

Kesalahan Melempar Jumrah


1. Ketika melempar jumrah, ada sebagian jama'ah haji yang beranggapan, bahwa mereka sedang melempar setan. Maka mereka melemparnya dengan penuh kemarahan disertai caci maki terhadapnya. Padahal melempar jumrah itu semata-mata disyariatkan dalam rangka zikir kepada Allah.

2. Sebagian mereka melempar jumrah dengan batu besar, sepatu, atau dengan kayu.mni adalah perbuatan berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yang disyariatkan dalam melemparnya hanyalah dengan batu-batu kecil sebesar kacang Arab.

3. Berdesak-desakkan dan pukul-memukul di dekat tempat-tempat jumrah untuk dapat melempar. Sedang yang disyari'atkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tidak menyakiti orang lain.

4. Melemparkan batu-batu tersebut seluruhnya sekaligus, menurut pendapat para ulama hal seperti itu hanya dihitung satu batu saja. Yang disyariatkan adalah melemparkan batu satu-persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan.

5. Mewakilkan untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu, karena menghindari kesulitan dan desak-desakkan. Padahal mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika ia sendiri tidak mampu karena sakit atau semacamnya.

Artikel Terkait :
- Kesalahan Towaf Wada

Kesalahan Towaf Wada

Kesalahan Towaf Wada

1. Sebagian jamaah haji meninggalkan Mina pada hari nafar (tgl. 12 atau 13 Zulhijjah) sebelum melempar jumrah dan langsung melakukan thawaf Wada'.
Kemudian kembali ke Mina untuk melempar Jumrah. Setelah itu mereka langsung pergi dari sana menuju negaranya masing-masing. Dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat jumrah, bukan dengan Baitullah, padahal nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan (Mekkah), sebelum mengakhiri perjumpaannya (dengan melakukan thawaf) di Baitullah" (Riwayat Muslim).
Maka dari itu, thawaf Wada' wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji dan beberapa saat sebelum bertolak. Setelah melakukan thawaf Wada' hendaknya jangan menetap di Mekkah, kecuali untuk sedikit keperluan.

2. Seusai melakukan thawaf Wada', sebagian mereka keluar dari Masjid dengan berjalan mundur sambil menghadapkan muka ke Ka'bah, mereka mengira bahwa hal itu merupakan penghormatan terhadap Ka'bah. Perbuatan ini adalah bid'ah, tak ada dasarnya sama sekali dalam agama.

3. Saat sampai di pintu Masjid Haram, setelah melakukan thawaf Wada', ada sebagian mereka yang berpaling ke Ka'bah dan mengucapkan berbagai doa seakan-akan mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ka'bah. Inipun bid'ah, tidak disyariatkan.

Artikel Terkait :
- Kesalahan melempar jumrah

Koleksiku